Senin, 26 Maret 2018

makalah penyakit tropis dan infeksi tifoid diare dan tetanus


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Medis dan Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan penyakit tropis dan infeksi”. Pada kesempatan ini tak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini dapat memberikan pemikiran serta kelancaran tugas kami selanjutnya dan dapat berguna bagi semua pihak Amin.


Malang, 22 Maret 2018


Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tropis merupakan penyakit yang sering terjadi pada wilayah tropis dan subtropis yang umumnya berupa infeksi tetapi juga berupa noninfeksi. Menurut WHO penyakit tropis mencakup semua penyakit yang berada di daerah tropis. Penyakit tropis merupakan salah satu bentuk penyakit yang sering terjadi di daerah beriklim tropis dan subtropis, tidak hanya di Indonesia tapi hampir semua negara berkembang penyakit tropis ini dapat mewabah dengan cepat dan menjadi salah satu faktor morbiditas dan mortalitas, untuk mengurangi angka kematian tersebut, perlu adanya penanggulangan guna menekan penyebarluasan penyakit tropis yang semakin lama semakin naik. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit tropis adalah lingkungan atau tempat tinggal yang kotor beberapa penyakit tropis dan infeksi yaitu diare, tetanus, tifoid penyakit tropis jenis ini dapat disebabkan bakteri maupun virus. Hasil penelitian menunjukkan diare merupakan penyebab utama kematian bayi dan anak balita (anak usia 1 bulan - <5 bulan) di Indonesia (Riskesdes, 2007), sedangkan tetanus WHO mencatat bahwa 787.000 bayi meninggal karena tetanus neoonartum (NT) dan tifoid menurut WHO diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan kematian demam tifoid ini merupakan masalah global terutama di Negara dengan hygiene buruk. Penatalaksanaan penyakit tropis dan infeksi dengan cara penggunaan air sumur, yang sehat dan imunisasi vaksin serta meningkatkan sanitasi lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi ?

1.3  Tujuan
1.1.1      Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat memahami konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi ?





1.1.2      Tujuan Khusus
a.    Mengetahui konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi thypoid
b.    Mengetahui konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi diare
c.    Mengetahui konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi tetanus



BAB 2
            PEMBAHASAN
2.1 Konsep Medis Demam Tifoid
A. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid (thypus abdominalis) merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thyposa dan hanya terdapat pada manusia (Marni, 2016).
B. Etiologi Demam Tifoid
Salmonella thyposa yang juga dikenal dengan nama Salmonella thypi merupakan mikroorganisme pathogen yang berada di jaringan limfatik usus halus, hati, limpa, dan aliran darah yang terinfeksi. Kuman ini berupa Gram-negatif yang akan nyaman hidup dalam tubuh manusia. Kuman ini akan mati pada suhu 70˚C dan dengan pemberian antiseptic. Masa inkubasi penyakit ini antara 7-20 hari. Namun, ada juga yang memiliki masa inkubasi paling pendek yaitu 3 hari, dan paling panjang yaitu 60 hari.
Menurut Rampengan (2007), kuman Salmonella thyposa atau Eberthella thyposa mempunyai 3 macam antigen (Tabel 2.1).
Macam-macam Antigen
Karakteristik
Antigen O (Ohne Hauch)
Antigen somatic (tidak menyebar)
Antigen H (Hauch)
Menyebar
Antigen V (kapsul)
Kapsul yang menyelimuti tubuh kuman dan melindungi antigen O terhadap fagositosis

TABEL 2.1 macam-macam Antigen pada Kuman Salmonella typosa
C. Faktor Risiko
Kejadian demam tifoid banyak terjadi di lingkungan yang padat penduduk, sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyediaan air bersih yang tidak adekuat, kondisi sosial ekonomi rendah, buta huruf, dan tidak diterapkannya perilaku hidup bersih dan sehat  (Marni, 2016)
D. Gambaran Klinis
Tanda khas penyakit ini yaitu demam tinggi kurang lebih satu minggu disertai nyeri kepala hebat dan gangguan saluran pencernaan, bahkan ada yang sampai mengalani penurunan kesadaran. Demam tinggi biasanya dimulai sore hari sampai dengan malam hari. Kemudian, menurun pada pagi hari. Demam ini terjadi kurang lebih selama 7 hari. Pada anak yang mengalami demam tinggi dapat terjadi kejang. Gangguan pencernaan yang terjadi pada pasien demam tifoid yaitu mual, muntah, nyeri ulu hati, perut kembung, anoreksia, lidah tifoid (kotor, bagian belakang tampak putih, pucat, tebal, serta bagian ujung kemerahan), diare dan konstipasi.
E. Patofisiologi
Kuman Salmonella Thyphosa masuk ke saluran pencernaan, khususnya usus halus bersama makanan, melalui pembuluh limfe. Kuman ini masuk atau menginvasi jaringan limfoid mesenterika. Terjadi nekrosis dan peradangan. Kuman yang berada pada jaringan limfoid tersebut masuk ke peredaran darah menuju hati dan limpa. Disini pasien merasakan nyeri. Kuman tersebut akan keluar dari hati dan limpa kemudian, kembali ke usus halus dan kuman mengeluarkan endotoksin yang dapat menyebabkan reinfeksi di usus halus dan kuman akan berkembang biak, kuman Salmonella Thyposa dan endotoksin merangsang sintesi dan pelepasan pirogen yang akhirnya beredar di darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala demam. Kuman menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah serta dapat menyebabkan terjadinya tukak mukosa yang mengakiatkan perdarahan dan perforasi (Marni, 2016).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan peningkatan leukoist atau leukositosis (20.000-25.000/mm³). Laju endap darah meningkat dan terdapat gambaran leukosit normokromik normositik. Selain itu, juga dapat ditemukan leucopenia dengan limfisitosis relatif. Untuk memastikan diagnosis demam tifoid, perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan melalui biakan darah, feses, urin, sumsum tulang ataupun duodenum. Pada pasien demam tifoid, biasanya dilakukan biakan darah pada minggu pertama, sedangkan biakan feses dilakukan pada minggu kedua, dan biakan urin dilakukan pada minggu ketiga. Pada pemeriksaan serologis, yang digunakan yaitu tes Widal, dengan dasar reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella Thyposa dan antibodi pada serum pasien. Tes Widal dilakukan beberapa kali, karena jika dilakukan hanya satu kali aja, maka pemeriksaan tersebut belum bisa dijadikan standar untuk menentukan diagnosis demam tifoid pada Tabel 2.2 (Marni, 2016)

Kota
Standar Nilai
Surabaya
≥1/200
Yogyakarta
≥1/160
Manado
≥1/80
Jakarta
≥1/140

TABEL 2.2 Standar Nilai Untuk Menentukan Diagnosis Demam Tifoid
G. Pencegahan
a) Minum air putih yang aman dan sehat
b) Makan makanan yang sehat dan bergizi (menghindari makanan mentah) dan menjaga kebersihan makanan
c) Mencuci tangan sebelum makan
(Clinical Guidelines, ed 2016)
H.  Penatalaksanaan
a) Terapi antibiotik
b) Tindakan suportif penting dalam pengelolaan demam tifoid, seperti penggunaan antipiretik
c) Pengaturan pola makan
d) Pemberian vaksin perlu diulang setiap 3 tahun
(Clinical Guidelines, ed 2016)
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan Thypoid
1. Pengkajian
a) Kaji keluhan pasien : apakah pasien mengeluh pasien lemas, tidak nafsu
makan, tidak bergairah untuk beraktivitas
b) Kaji riwayat demam : apakah pasien mengalami demam pada sore dan malam hari, suhu tubuh pasien turun pada pagi hari selama ≥3 minggu; bibir kering, dan pecah-pecah, lidah putih kotor, serta kemerahan di ujung lidah
c) Kaji riwayat penyakit sekarang : sejak kapan mulai demam, mulai merasakan tidak berselera makan, mual, muntah, lemas, apakah terdapat pembesaran hati dan limpa; apakah terdapat gangguan kesadaran; apakah terdapat komplikasi misalnya perdarahan, perforasi, peritonitis, dan sebagainya
d) Kaji riwayat penyakit dahulu : apakah sebelumnya pernah menderita penyakit sama, apakah anggota keluarga juga pernah sakit yang sama, apakah sebelumnya psien pernah sakit, apakah sampai dirawat, dan sakit apa.
e) Lakukan pemeriksaan fisik : kesadarn pasien dan pemeriksaan dari kepala sampai ujung kaki
(Marni, 2016)
2. Diagnosis dan Intervensi
Diagnosis 1 : Hipertermia yang berhubungan dengan proses infeksi
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal 36-37,5˚C dengan tubuh tidak terasa panas, dan haus berkurang.
Intervensi
Intervensi
Rasional
Kaji keluhan pasien, rasa haus
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
Kaji pengetahuan pasien dan keluarga mengenai hipertermia
Pengkajian semacam ini berfungsi sebagai dasar untuk memulai penyuluhan
Observasi suhu tubuh, perasaan, pernapasan, denyut nadi, dan tekanan darah setiap 4 jam
Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan darah dapat mengindikasikan hipovolemia yang mengarah pada perfusi jaringan. Peningkatan frekuensi pernapasan berkompensasi pada hipoksia jaringan
Kompres dengan air dingin biasa tanpa es
Kompres air biasa akan mendinginkan permukaan tubuh dengan cara konduksi
           
Diagnosis 2 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan kurang
Kriteria hasil : Nutrisi pasien terpenuhi yang ditandai dengan nafsu makan baik, makan habis sesuai porsi yang disediakan, tidak muntah, dan berat badan stabil atau meningkat.
Intervensi
Kaji keluhan mual atau nyeri pada anak
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan

Observasi status nutrisi anak
Untuk mengetahui tingkat gizi pada pasien

Izinkan anak mengkonsumsi makanan sesuai yang ditoleransi anak
Agar anak suka makan, sehingga nafsu makan bertambah

Berikan makanan padat secara dini apabila anak tidak sadar
Makanan padat dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada anak

Anjurkan orangtua untuk memberikan makan dengan porsi sedikit tetapi sering
Makanan dalam jumlah sedikit dalam waktu sering akan memerlukan pengeluaran energi dan penggunaan pernapasan yang sedikit. Anak akan menghabiskan makanannya dalam jumlah banyak setiap kali makan.

Diagnosis 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya supan cairan dan peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil : Volume terpenuhi yang ditandai dengan anak tidak kehausan, turgor kulit elastic, ubun-ubun tidak cekung, produksi urin normal, dan bibir lembab.
Intervensi
Observasi tanda-tanda kurangnya cairan (bibir pecah, produksi urin turun, dan turgor tidak elastic
Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pasien
Observasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) setiap 4 jam
Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan darah dapat mengindikasikan hipovolemia yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan. Peningkatan frekuensi pernapasan berkompensasi pada hipoksia jaringan.
Pantau asupan dan pengeluaran
Untuk mengetahui keseimbangan cairan pada pasien
Kurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat dengan mempertahankan suhu tubuh normal
Suhu tubuh normal bisa menjaga kestabilan penguapan oleh tubuh
Berikan minum yang banyak sesuai toleransi anak
Untuk mencegah tnda-tanda dehidrasi

Diagnosa 4 : Risiko terjadi komplikasi (cedera) berhubungan dengan kemampuan kuman dalam merusak sistem dan daya tahan tubuh yang rendah
Kriteria hasil : Tidak terjadi komplikasi, misalnya pendarahan dan perforasi. Ekspresi wajah pasien tenang, nyaman, dan tidak mengeluh nyeri.






Intervensi
Kaji keluhan pasien
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
Observasi tanda-tanda komplikasi (perdarahan dan perforasi)
Untuk mendeteksi tanda awal bahaya dari pasein
Berikan istirahat yang cukup pada pasien
Istirahat dapat menyimpan energi yang diperlukan untuk melawan infeksi
Lakukan mobilisasi secara bertahap, 7 hari setelah bebas demam
Agar mobilisasi tubuh tidak kaku
Ajarkan orangtua teknik merawat pasien secar aseptik
Untuk mencegah infeksi dengan selalu hidup bersih

2.3 Konsep Medis Tetanus
1. Definisi Tetanus
Tetanus atau lockjaw merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang berbentuk batang Gram-positif yang hidupnya anaerob. Spora Clostridium tetani banyak ditemukan dalam tanah, kotoran, gigi hewan. Sifat spora yaitu tahan dalam air mendidih selama 4 jam dan tahan terhadap antiseptic. Akan tetapi, spora ini akan mati dalam autoklaf pada pemanasan 121˚C selama 20 menit. Di tanah, spora dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun jika tidak terkena cahaya. Spora ini dapat menyebabkan infeksi selama lebih dari 40 tahun.
2. Klasifikasi tetanus
a) Tetanus neonatus : penyakit yang sering terjadi di seluruh dunia, mengenai bayi baru lahir di minggu pertama kehidupan akibat ujung umbilikal yang terinfeksi atau teknik pembedahan yang tidak steril selama sirkumsisi (Arnon, 2007)
b) Tetanus lokal : bentuk tetanus ini jarang ditandai dengan spasme otot lokal dalam area luka
c) Tetanus sefalik : yang berkaitan dengan otitis media atau trauma kepala yang terjadi baru-baru ini
d) Tetanus generalista : bentuk yang paling sering dan menyebabkan spasme yang terjadi dalam cara desenden dimulai di rahang. Otot sering terkena adalah leher dan punggung.
(Marni, 2016)

3. Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, yaitu kuman yang berbentuk batang Gram-positif yang hidupnya anaerob. Spora Clostridium tetani banyak ditemukan dalam tanah, kotoran, dan gigi hewan. Sifat spora yaitu tahan dalam air mendidih selam 4 jam dan tahan terhadap antiseptik. Akan tetapi, spora ini akan mati dalam autoklaf pada pemanasan 121˚C selama 20 menit. Di tanah, spora dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun jika tidak terkena cahaya. Spora ini dapat menyebabkan infeksi selama lebih dari 40 tahun.
4. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi penyakit tetanus umumnya antara 7-21 hari, walaupun ada yang lebih cepat atau lebih lambat. Penyakit ini biasanya timbul mendadak dengan ketegangan otot pada rahang dan leher. Dilihat dari klinisnya/klasifikasinya (tetanus umum, tetanus lokal, dan tetanus sefalik.
5. Patofisiologi
Bakteri Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke dalam tubuh melewati luka tusuk, misalnya akibat tertusuk paku, luka terkena pecahan kaca, luka bakar, lecet, otitis media yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran hewan, pupuk, dan besi berkarat. Luka yang terkontaminasi tersebut keadaan anaerob yang ideal untuk berkembang biaknya Clostridium tetani. Kuman ini tidak invasif. Jika dinding sel kuman lisis, maka akan melepaskan eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospamin merupakan toksin kuat dan neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot yang akan mempengaruhi sistem saraf pusat, sedangkan tetanosilin kurang begitu signifikan. Toksin akan diabsorbsi oleh susunan limfatik dan masuk ke sisitem saraf pusat melalui peredaran darah. Namun, toksin yang ada dalam peredaran darah dapat dengan mudah dinetralkan oleh antitoksin. Toksin juga dapat diabsorbsi oleh ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik menuju ke korne anterior susunan saraf pusat. Toksin akan bereaksi pada myoneural junction yang mengakibatkan spasme otot dan mudah sekali terangsang terjadinya kejang (Marni, 2016)
6. Pemeriksaan penunjang
Pada penyakit tetanus, pemeriksaan kurang menunjang untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin, tidak ditemukan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan mikrobiologi, sampel diambil dari luka yang mengandung pus, atau jaringan nekrotik yang dibiakkan pada kultur darah atau kaldu daging. Pemeriksaan darah yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan kalsium dan fosfat. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan cairan serebospinalis dan elektroensefalogram, tetapi sering kali hasilnya normal, walaupun didapatkan peningkatan tekanan akibat kontraksi otot (Marni, 2016).
7. Penatalaksanaan
Anak yang tertususk paku atau duri sebaiknya segera dibawa ke petugas kesehatan untuk diberikan suntikan profilaksis 20.000 U secara IM yang terlebih dahulu dilakukan uji kulit dan mata. Jika anak mengalami kejang, maka berikan antikejang dan penenang, misalnya fenobarbital jika terjadi kejang hebat dengan dosis 50 mg untuk anak <1 tahun, dan 75 mg untuk anak >1 tahun. Selanjutnya, diberikan dosis 5 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 6 dosis. Obat penenang lain yang dapat diberikan pada pasien ini yaitu diazepam atau klorpromazin dengan dosis 4 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 6 dosis.
            Antibiotik penisilin prokain (PP) perlu diberikan untuk mengobati infeksi. Dosis yang dianjurkan yaitu 50.000 U/kgBB/hari dan diberikan secara IM selama 3 hari berturut-turut sampai demam turun. Obat lain yang berfungsi sebagai antibiotic yaitu metronidazol yang diberikan secara IV dengan dosis awal 15 mg/kgBB yang dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval 6 jam selama 7-10 hari (Simanjuntak, 2013).
Anak yang terkena luka tusuk, luka kotor, dan luka yang tercemar spora tetanus harus segera menjalani perawatan luka yaitu untuk mencegah timbulnya jaringan anaerob. Luka perlu dibersihkan dari benda asing dan jaringan nekrotik.
            Selain obat, penatalaksanaan yang penting yaitu dengan nutrisi yang adekuat, anatara lain memeberikan makanan yang mengandung tinggi kalori tinggi protein (TKTP). Selain itu, juga dapat dilakukan tindakan dengan menempatkan pasien pada ruangan yang tenang, nyaman, dalam cahaya yang redup, dan menjauhkan pasien dari kebisingan. Pemberian oksigen diperlukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh. Jika pasien tidak mampu makan secar oral, maka NGT dapat dipasang jika perlu. Intubasi, trakeostomi , dan terapi intravena dapat dilakukan jika terdapat indikasi. Selain itu, debridemen atau pembersihan luka dengan cara pembedahan juga dapat dilakukan untuk mengeluarkan racun yang masuk ke dalam tubuh.
8. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk mencegha terjadinya penyakit tetanus yaitu dengan pemberian imunisasi DPT. Anak dianjurkan untuk selalu menggunakan alas kaki pada saat berjalan/bermain untuk mencegah masuknya kuman pada saat tertusuk paku atau duri akibat tidak menggunakan alas kaki.
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan Tetanus
1. Pengkajian
Pengkajian yang perlu dilakukan pada pasien dengan tetanus yaitu : kaji keluhan anak; kaji riwayat penyakit saat ini dan faktor yang mencetuskan; kaji riwayat penyakit dahulu; kaji manifestasi kejang atau aktivitas kejang, bedakan meningitis dan epilepsi. Lakukan pemeriksaan fisik pada anak, apakah terdapat kaku duduk, opistotonus, trismus, strabismus, atau kekakuan pada ekstremitas. Lakukan pemeriksaan sistem persarafan kaji respon keluarga dalam menghadapi anak yang menderita tetanus.
2. Diagnosis dan Intervensi Keperawatan
Diagnosis 1 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
Kriteria hasil : Bersihan jalan napas efektif, pernapasan normal normal yang ditandai dengan frekuensi, kedalaman, suara napas, dann irama sesuai usia anak, serta anak tampak tenang.
Intervensi
Intervensi
Rasional
Kaji keluhan keluhan pasien
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
Observasi pernapasan pasien (frekuensi, kedalaman, apakah terdapat kesulitan bernapas, dan suara napas tambahan)
Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien
Baringkan pasien di tempat yang rata dengan kepala ekstensi (ganjal bantal dibawah bahu)
Kesejajaran tubuh yang tepat dapat membantu melancarkan pernapasan

Isap lender sampai bersih
Pengisapan lender membantu untuk mengeluarkan sekret dan mempermudah pernapasan karena anak tidak dapat mengeluarkan sendiri

Diagnosis 2 : risiko aspirasi berhubungan dengan kesukaran menelan dan spasme otot faring
Kriteria hasil : tidak terjadi aspirasi, anak mampu menelan air liurnya, dan tidak terjadi spasme oto lagi.
Intervensi
Intervensi
Rasional
Observasi kondisi pasien
Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien
Isap lender sesering mungkin
Pengisapan lender membantu untuk mengeluarkan sekret dan mempermudah pernapasan karena anak tidak dapat mengeluarkannya sendiri
Berikan makanan cairan melalui sonde
Melalui slang NGT memungkinkan anak dapat menerima nutrisi yang adekuat
Berikan penenang jika perlu
Meringankan spasme pada otot

Diagnosis 3 : risiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera pada anak dan kejang terkontrol atau tidak kejang.
Intervensi
Rasional
Observasi aktifitas kejang pasien
Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien
Baringkan pasien di tempat yang rata, bahu diganjal oleh bantal
Kesejajaran tubuh yang tepat dapat membantu melancarkan pernapasan
Miringkan wajah untuk menghindari aspirasipasang mayo untuk mencegah lidah jatuh ke belakang
Mengeluarkan produk muntahan sehingga tidak masuk ke paru atau lambung lagi
Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
Menemani anak digunakan sebagai dasar penyuluhan

Diagnosisi 4 : nyeri berhubungan dengan toksin dalam sel saraf dan aktivitas kejang.
Kriteria hasil : anak merasa nyaman, kejang berkurang atau hilang, ekspresi wajah tampak tenang, dan anak tidak rewel.
Intervensi
Rasional
Kaji keluhan pasien
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan.
Observasi nyeri dan ketidaknyamanan pasien
Memahami keparahan dan lokasi nyeri anak membantu untuk menentukan upaya kontrol nyeri yang tepat. Intervensi meliputi medikasi,
 pengaturan posisi, pengalihan, imajinasi, relaksasi, dan teknik pernapasan.



Rawat pasien dalam ruangan yang tenang dan nyaman
Kelelahan dapat mengurangi toleransi terhadap nyeri
Pada saat tidur, jangan dibangunkan untuk memberi obat penenang atau nyeri
Memberikan rasa nyaman terhadap pasien

Diagnosis 5 : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia trismus
Kriteria hasil : nutrisi pasien terpenuhi, berat badan stabil atau naik, anak mampu makan/menelan, serta tidak terjadi trismus dan disfagia, trismus
Intervensi
Rasional
Kaji kurangnya nutrisi pada pasien
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
Observasi kondisi pasien, berat badan, dan antropometri
Informasi ini menentukan dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
Berikan makanan cair jika anak mampu makan sendiri, gunakan sedotan
Untuk memenuhi nutrisi yang adekuat
Berikan makanan cair per sonde setiap 3 jam, jika pasien diberikan obat penenang
Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien walaupun pasien tidur karena diberi obat penenang

Diagnosisi 6 : kurang perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktivitas kejang
Kriteria hasil : badan anak bersih, kebutuhan toileting dan berpakaian terpenuhi , serta kejang berkurang atau hilang.
Intervensi
Intervensi
Rasional
Kaji keluhan pasien
Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memadu intervensi keperawatan
Observasi kondisi pasien
Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien
Bantu pasien untuk membersihkan diri dengan memandikan pasien
Memberikan rasa nyaman pada pasien

Bantu pasien toileting
Meniminamalkan energi pasien
Anjurkan orangtua untuk selalu menemani pasien
Menemani anak digunakan sebagai dasar penyuluhan

Diagnosis 7 : kurang pengetahuan berhubungan dengan penatalaksanaan gangguan kejang
Kriteria hasil : pengetahuan orangtua atau pasien bertambah tentang tetanus, keluarga mengetahui penyebab, penatalaksanaan, tanda dan gejala, serta komplikasi kejang.
Intervensi
Rasional
Jelaskan penyebab sakit pada orangtua
Memberikan informasi kepada orangtua tentang penyebab sakit anaknya
Jelaskan manfaat PHBS
Membuat saling percaya antara orangtua dan anak dengan tim medis bahwa anak menerima perawatan terbaik
Jelaskan manfaat imunisasi
Memberikan informasi kepada orangtua tentang perawatan
Ajarkan orangtua agar obat diminum sampai habis
Dapat membantu program terapi anak

2.5 Konsep Medis Diare
1. Definisi Diare
Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja. WHO pada tahun 1984 mendefinisikan diare sebagai berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari semalam (24 jam). Para ibu mempunyai istilah tersendiri seperti lembek, cair, berdarah, berlendir atau dengan muntah (muntaber). Penting untuk menanyakan kepada orangtua mengenai frekuensi dan konsistensi tinja anak yang dianggap sudah tidak normal lagi.
Diare dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan (onset), yaitu :
a.    Diare akut (<2 minggu)
b.    Diare kronik (>2 minggu)
2. Etiologi
Penyebab diare dapat dikelompokkan menjadi :
a.    Virus : Rotavirus (40-60%), Adenovirus
b.    Bakteri : Eschericia coli (20-30%), Shigella sp. (1-2%), Vibrio cholerae, dan lain-lain
c.    Parasit : Entamoeba histolytica (<1%), Giardia lambia, Cryptosporidium (4-11%)
d.    Keracunan makanan
e.    Malabsorbsi : karbohidrat, lemak, dan protein
f.     Alergi makanan, susu sapi
g.    Imunodefisiensi : AIDS
3. Penularan
a) Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi bila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat di simpan di rumah. Pencemaran di rumah terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan
2. Melalui tinja yang terinfeks. Tinja yang sdudah terinfeksi mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap di makanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang memakannya
3. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko diare adalah :
a) pada usia 4 bulan bayi sudah tidak diberi ASI ekslusif lagi. (ASI ekslusif adalah pemberian ASI saja sewaktu bayi berusia 0-4 bulan). Hal ini akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian karena diare. Karena ASI banyak mengandung zat-zat kekebalan terhadap infeksi
b) Memberikan susu formula dalam botol kepada bayi. Pemakaian botol akan meningkatkan risiko pencemaran kuman, dan susu akan terkontaminasi oleh kuman dari botol. Kuman akan cepat berkembang bila susu tidak segera diminum
c) Menyimpan makanan pada suhu kamar. Kondisi tersebut akan menyebabkan permukaan makanan mengalami kontak dengan peralatan makan yang merupakan media yang sangat baik bagi perkembangan mikroba
d) Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah buang air besar (BAB) akan memungkinkan kontaminasi langsung
(Widoyono, 2008)


4. Tanda dan gejala
1. Gejala umum
a. Berak cairan atau lembek dan sering adalah gejala khas diare
b. Muntah
c. Demam
d. Gejala dehidrasi (mata cekung, turgor kulit melambat, lemah)
2. Gejala spesifik
a. Vibrio cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras, bau amis
b. Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah
(Wiyono, 2008)
5. Penatalaksanaan
a. Memberikan anak lebih banyak cairan
b. Memberi gizi yang cukup
c. Membawa ke layanan kesehatan terdekat
d. Berikan cairan oralit
e. Pemberian antibiotik jika perlu
2.6 Konsep Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan Diare
1. Pengkajian
Identitas pasien
Keluhan utama
Buang air besar lebih dari tiga kali sehari. BAB 4-10 kali dengan konsistensi cair (dehidrasi
ringan/sedang). BAB >10 kali (dehidrasi berat). Bila diare berlangsung <14 hari adalah diare
akut. Bila berlangsung >14 hari adalah diare persisten.
Riwayat penyakit sekarang menurut Suharyono (1999;59) sebagai berikut :
a.    Bayi/anak menagis, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang, dan diare.
b.    Tinja cair, disertai lender dan darah. Warna tinja berubah menjadi hijau (bercampur empedu)
c.    Anus dan daerah sekitarnya lecet karena sering defekasi.
d.    Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan sesudah diare.
e.    Bila pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai tampak.
f.     Dieresis, yaitu terjadi oliguri (< 1ml/kg/BB/jam) bila terjadi dehidrasi. Urine sedikit gelap pada dehidrasi ringan atau sedang, tidak ada urin dalam waktu 6 jam (dehidrasi berat).
Riwayat kesehatan meliputi :
a.    Riwayat imunisasi terutama anak yang belum imunisasi campak
b.    Riwayat alergi terhadap makanan atau obat (Axton,1993;83)
c.    Riwayat penyakit yang sering terjadi pada anak dibawah tahun (batuk, panas, pilek, dan kejang sebelum atau sesdudah diare) Suharyono, 1999;59)
Riwayat nutrisi
a.    Pemberian ASI penuh pada anak umur 4-6 bulan sangat mengurangi risiko diare dan infeksi yang serius
b.    Pemberian susu formula, apakah menggunakan air masak, diberikan dengan botol atau dot
c.    Perasaan haus.
Pemeriksaan fisik :
a)    Keadaan umum
1.    Baik, sadar (tanpa dehidrasi)
2.    Gelisah, rewel (dehidrasi ringan atau sedang)
3.    Lesu, atau tidak sadar (dehidrasi berat)
b)    Berat badan : anak yang mengalami diare biasanya mengalami penurunan berat badan
c)    Kulit : pemeriksaan turgor/elastisitas kulit jika kembali < 2 detik (diare tanpa dehidrasi) jika >2 detik (dehidrasi berat)
d)    Kepala : anak <2 tahun yang mengalami dehiradi ubun-ubunnya biasanya cekung
e)    Mata : anak yang diare tanpa dehidrasi, bentuk kelopak mata normal. Bila dehidrasi ringan/sedang, kelopak mata cekung (cowong). Jika dehidrasi berat kelopak mata akan sangat cekung
f)     Mulut dan lidah
1.    Mulut dan lidah basah (tanpa dehidrasi)
2.    Mulut dan lidah kering (dehidrasi ringan/sedang)
3.    Mulut dan lidah sangat kering (dehidrasi berat)
g)    Abdomen kemungkinan distensi, kram, bisis usus meningkat
h)    Anus : adakah iritasi
i)      Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan laboratorium
a.    Pemeriksaan tinja
b.    Tes malabsorbsi
2) Diagnosa Keperawatan
a)    Kekurangan volume cairan
b)    Perubahan pola pemenuhan nutrisi
c)    Perubahan integritas kulit
3) Intervensi
1. Kekurangan volume cairan
a. Pantau tanda-tanda dan gejala dehidrasi
b. Pantau masukan dan keluaran dengan cermat meliputi frekuensi, warna, dan konsistensi
c. Pantau ketidakseimbangan elektrolit
d. Timbang berat badan setiap hari
e. Monitor tanda-tanda vital
2. Perubahan nutrisi
a. Jaga intake dan output yang tepat dengan meneruskan nutrisi per oral
b. Observasi muntah dan berak tiap 4 jam
c. Berikan makanan secara bertahap menaikkan dari diet lunak ke diet biasa
d. Timbang berat badan setiap hari
e. Kolaborasi dengan ahli gizi
3. Perubahan integritas kulit
a. Jaga daerah popok bersih dan kering
b. Periksa dan anti popok tiap jam atau basah
c. Bersihkan daerah perineal dengan air dan sabun perineal dengan air dan sabun  yang lembut setiap BAB








BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Penyakit tropis merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Penyakit ini merupakan penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis maupun subtropis.Penyebaran penyakit tropis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, perubahan iklim, dan cuaca, untuk itu penanganan penyakit tropis dapat dilakukan dengan cara selalu menjaga sanitasi lingkungan karena lingkungan merupakan elemen penting agar kita bisa terhindar dari penyakit tropis serta selalu menjaga kesehatan dengan cara memakan makanan yang bergizi agar saat terjadi perubahan cuaca tubuh kita tidak akan lemah.
3.2  Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki isi makalah.


















DAFTAR PUSTAKA

John J, Van Aart CJC, Grassly NC (2016) The Burden of Typhoid and
Paratyphoid in India: Systematic Review and Meta-analysis. PLoS NeglTrop Dis
10(4): e0004616. doi:10.1371/journal.pntd.0004616
Marni, Asuhan Keperawatan Anak pada Penyakit Tropis, Penerbit Erlangga, 2016
Rekawati dkk, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak ed 2, Penerbit Erlangga, 2008
Widoyono, Penyakit Tropis, Penerbit Erlangga, 2016

 

 




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar