KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Konsep Medis dan Asuhan
Keperawatan Bayi dan Anak dengan penyakit tropis dan infeksi”.
Pada kesempatan ini tak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya, untuk itu kami
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya
semoga makalah ini dapat memberikan pemikiran serta kelancaran tugas kami
selanjutnya dan dapat berguna bagi semua pihak Amin.
Malang, 22 Maret 2018
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penyakit tropis merupakan
penyakit yang sering terjadi pada wilayah tropis dan subtropis yang umumnya
berupa infeksi tetapi juga berupa noninfeksi. Menurut WHO penyakit tropis
mencakup semua penyakit yang berada di daerah tropis. Penyakit tropis merupakan
salah satu bentuk penyakit yang sering terjadi di daerah beriklim tropis dan
subtropis, tidak hanya di Indonesia tapi hampir semua negara berkembang
penyakit tropis ini dapat mewabah dengan cepat dan menjadi salah satu faktor
morbiditas dan mortalitas, untuk mengurangi angka kematian tersebut, perlu
adanya penanggulangan guna menekan penyebarluasan penyakit tropis yang semakin
lama semakin naik. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit tropis
adalah lingkungan atau tempat tinggal yang kotor beberapa penyakit tropis dan
infeksi yaitu diare, tetanus, tifoid penyakit tropis jenis ini dapat disebabkan
bakteri maupun virus. Hasil penelitian menunjukkan diare merupakan penyebab
utama kematian bayi dan anak balita (anak usia 1 bulan - <5 bulan) di
Indonesia (Riskesdes, 2007), sedangkan tetanus WHO mencatat bahwa 787.000 bayi
meninggal karena tetanus neoonartum (NT) dan tifoid menurut WHO diperkirakan
terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan
kematian demam tifoid ini merupakan masalah global terutama di Negara dengan
hygiene buruk. Penatalaksanaan penyakit tropis dan infeksi dengan cara
penggunaan air sumur, yang sehat dan imunisasi vaksin serta meningkatkan
sanitasi lingkungan.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana konsep medis dan asuhan
keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi ?
1.3 Tujuan
1.1.1 Tujuan
Umum
Agar mahasiswa dapat memahami konsep
medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan
infeksi ?
1.1.2 Tujuan
Khusus
a.
Mengetahui
konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik
dan infeksi thypoid
b.
Mengetahui
konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik
dan infeksi diare
c.
Mengetahui
konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan penyakit tropik
dan infeksi tetanus
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Medis Demam Tifoid
A.
Definisi Demam Tifoid
Demam
tifoid (thypus abdominalis) merupakan
penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thyposa dan hanya terdapat
pada manusia (Marni, 2016).
B.
Etiologi Demam Tifoid
Salmonella
thyposa yang juga dikenal dengan nama Salmonella
thypi merupakan mikroorganisme pathogen yang berada di jaringan limfatik
usus halus, hati, limpa, dan aliran darah yang terinfeksi. Kuman ini berupa
Gram-negatif yang akan nyaman hidup dalam tubuh manusia. Kuman ini akan mati
pada suhu 70˚C dan dengan pemberian antiseptic. Masa inkubasi penyakit ini
antara 7-20 hari. Namun, ada juga yang memiliki masa inkubasi paling pendek
yaitu 3 hari, dan paling panjang yaitu 60 hari.
Menurut
Rampengan (2007), kuman Salmonella
thyposa atau Eberthella thyposa
mempunyai 3 macam antigen (Tabel 2.1).
Macam-macam
Antigen
|
Karakteristik
|
Antigen
O (Ohne Hauch)
|
Antigen
somatic (tidak menyebar)
|
Antigen
H (Hauch)
|
Menyebar
|
Antigen
V (kapsul)
|
Kapsul
yang menyelimuti tubuh kuman dan melindungi antigen O terhadap fagositosis
|
TABEL 2.1 macam-macam Antigen pada Kuman Salmonella typosa
C.
Faktor Risiko
Kejadian
demam tifoid banyak terjadi di lingkungan yang padat penduduk, sanitasi
lingkungan yang kurang baik, penyediaan air bersih yang tidak adekuat, kondisi
sosial ekonomi rendah, buta huruf, dan tidak diterapkannya perilaku hidup
bersih dan sehat (Marni, 2016)
D.
Gambaran Klinis
Tanda khas
penyakit ini yaitu demam tinggi kurang lebih satu minggu disertai nyeri kepala
hebat dan gangguan saluran pencernaan, bahkan ada yang sampai mengalani
penurunan kesadaran. Demam tinggi biasanya dimulai sore hari sampai dengan
malam hari. Kemudian, menurun pada pagi hari. Demam ini terjadi kurang lebih
selama 7 hari. Pada anak yang mengalami demam tinggi dapat terjadi kejang.
Gangguan pencernaan yang terjadi pada pasien demam tifoid yaitu mual, muntah,
nyeri ulu hati, perut kembung, anoreksia, lidah tifoid (kotor, bagian belakang
tampak putih, pucat, tebal, serta bagian ujung kemerahan), diare dan
konstipasi.
E.
Patofisiologi
Kuman Salmonella Thyphosa masuk ke saluran
pencernaan, khususnya usus halus bersama makanan, melalui pembuluh limfe. Kuman
ini masuk atau menginvasi jaringan limfoid mesenterika. Terjadi nekrosis dan
peradangan. Kuman yang berada pada jaringan limfoid tersebut masuk ke peredaran
darah menuju hati dan limpa. Disini pasien merasakan nyeri. Kuman tersebut akan
keluar dari hati dan limpa kemudian, kembali ke usus halus dan kuman
mengeluarkan endotoksin yang dapat menyebabkan reinfeksi di usus halus dan
kuman akan berkembang biak, kuman Salmonella
Thyposa dan endotoksin merangsang sintesi dan pelepasan pirogen yang
akhirnya beredar di darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus
yang menimbulkan gejala demam. Kuman menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem
peredaran darah serta dapat menyebabkan terjadinya tukak mukosa yang
mengakiatkan perdarahan dan perforasi (Marni, 2016).
F.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium akan menunjukkan peningkatan leukoist atau leukositosis
(20.000-25.000/mm³). Laju endap darah meningkat dan terdapat gambaran leukosit
normokromik normositik. Selain itu, juga dapat ditemukan leucopenia dengan
limfisitosis relatif. Untuk memastikan diagnosis demam tifoid, perlu dilakukan
pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan bakteriologis
dilakukan melalui biakan darah, feses, urin, sumsum tulang ataupun duodenum.
Pada pasien demam tifoid, biasanya dilakukan biakan darah pada minggu pertama,
sedangkan biakan feses dilakukan pada minggu kedua, dan biakan urin dilakukan
pada minggu ketiga. Pada pemeriksaan serologis, yang digunakan yaitu tes Widal,
dengan dasar reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella Thyposa dan antibodi pada serum pasien. Tes Widal
dilakukan beberapa kali, karena jika dilakukan hanya satu kali aja, maka
pemeriksaan tersebut belum bisa dijadikan standar untuk menentukan diagnosis
demam tifoid pada Tabel 2.2 (Marni, 2016)
Kota
|
Standar
Nilai
|
Surabaya
|
≥1/200
|
Yogyakarta
|
≥1/160
|
Manado
|
≥1/80
|
Jakarta
|
≥1/140
|
TABEL 2.2 Standar Nilai Untuk Menentukan
Diagnosis Demam Tifoid
G.
Pencegahan
a) Minum air
putih yang aman dan sehat
b)
Makan makanan yang sehat dan bergizi (menghindari makanan mentah) dan menjaga
kebersihan makanan
c)
Mencuci tangan sebelum makan
(Clinical
Guidelines, ed 2016)
H.
Penatalaksanaan
a)
Terapi antibiotik
b)
Tindakan suportif penting dalam pengelolaan demam tifoid, seperti penggunaan
antipiretik
c)
Pengaturan pola makan
d)
Pemberian vaksin perlu diulang setiap 3 tahun
(Clinical
Guidelines, ed 2016)
2.2
Konsep Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan Thypoid
1.
Pengkajian
a) Kaji keluhan pasien : apakah pasien
mengeluh pasien lemas, tidak nafsu
makan, tidak bergairah untuk
beraktivitas
b)
Kaji riwayat demam : apakah pasien mengalami demam pada sore dan malam hari,
suhu tubuh pasien turun pada pagi hari selama ≥3 minggu; bibir kering, dan
pecah-pecah, lidah putih kotor, serta kemerahan di ujung lidah
c)
Kaji riwayat penyakit sekarang : sejak kapan mulai demam, mulai merasakan tidak
berselera makan, mual, muntah, lemas, apakah terdapat pembesaran hati dan
limpa; apakah terdapat gangguan kesadaran; apakah terdapat komplikasi misalnya
perdarahan, perforasi, peritonitis, dan sebagainya
d)
Kaji riwayat penyakit dahulu : apakah sebelumnya pernah menderita penyakit
sama, apakah anggota keluarga juga pernah sakit yang sama, apakah sebelumnya
psien pernah sakit, apakah sampai dirawat, dan sakit apa.
e)
Lakukan pemeriksaan fisik : kesadarn pasien dan pemeriksaan dari kepala sampai
ujung kaki
(Marni,
2016)
2.
Diagnosis dan Intervensi
Diagnosis 1 : Hipertermia yang berhubungan dengan
proses infeksi
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal 36-37,5˚C dengan
tubuh tidak terasa panas, dan haus berkurang.
Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji keluhan pasien,
rasa haus
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
|
Kaji pengetahuan
pasien dan keluarga mengenai hipertermia
|
Pengkajian semacam ini
berfungsi sebagai dasar untuk memulai penyuluhan
|
Observasi suhu tubuh,
perasaan, pernapasan, denyut nadi, dan tekanan darah setiap 4 jam
|
Peningkatan denyut
nadi, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan darah dapat
mengindikasikan hipovolemia yang mengarah pada perfusi jaringan. Peningkatan
frekuensi pernapasan berkompensasi pada hipoksia jaringan
|
Kompres dengan air
dingin biasa tanpa es
|
Kompres air biasa akan
mendinginkan permukaan tubuh dengan cara konduksi
|
Diagnosis 2 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan asupan kurang
Kriteria hasil : Nutrisi pasien terpenuhi yang ditandai
dengan nafsu makan baik, makan habis sesuai porsi yang disediakan, tidak
muntah, dan berat badan stabil atau meningkat.
Intervensi
Kaji keluhan mual atau
nyeri pada anak
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
|
Observasi status
nutrisi anak
|
Untuk mengetahui
tingkat gizi pada pasien
|
Izinkan anak
mengkonsumsi makanan sesuai yang ditoleransi anak
|
Agar anak suka makan,
sehingga nafsu makan bertambah
|
Berikan makanan padat
secara dini apabila anak tidak sadar
|
Makanan padat dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi pada anak
|
Anjurkan orangtua
untuk memberikan makan dengan porsi sedikit tetapi sering
|
Makanan dalam jumlah sedikit
dalam waktu sering akan memerlukan pengeluaran energi dan penggunaan
pernapasan yang sedikit. Anak akan menghabiskan makanannya dalam jumlah
banyak setiap kali makan.
|
Diagnosis 3 : Risiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kurangnya supan cairan dan peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil : Volume terpenuhi yang ditandai dengan
anak tidak kehausan, turgor kulit elastic, ubun-ubun tidak cekung, produksi
urin normal, dan bibir lembab.
Intervensi
Observasi tanda-tanda
kurangnya cairan (bibir pecah, produksi urin turun, dan turgor tidak elastic
|
Untuk mendeteksi tanda
awal bahaya pasien
|
Observasi tanda-tanda
vital (suhu tubuh) setiap 4 jam
|
Peningkatan denyut
nadi, penurunan tekanan vena sentral, dan penurunan tekanan darah dapat
mengindikasikan hipovolemia yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan.
Peningkatan frekuensi pernapasan berkompensasi pada hipoksia jaringan.
|
Pantau asupan dan
pengeluaran
|
Untuk mengetahui
keseimbangan cairan pada pasien
|
Kurangi kehilangan
cairan yang tidak terlihat dengan mempertahankan suhu tubuh normal
|
Suhu tubuh normal bisa
menjaga kestabilan penguapan oleh tubuh
|
Berikan minum yang
banyak sesuai toleransi anak
|
Untuk mencegah
tnda-tanda dehidrasi
|
Diagnosa 4 : Risiko terjadi komplikasi (cedera)
berhubungan dengan kemampuan kuman dalam merusak sistem dan daya tahan tubuh
yang rendah
Kriteria hasil : Tidak terjadi komplikasi, misalnya
pendarahan dan perforasi. Ekspresi wajah pasien tenang, nyaman, dan tidak
mengeluh nyeri.
Intervensi
Kaji keluhan pasien
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
|
Observasi tanda-tanda
komplikasi (perdarahan dan perforasi)
|
Untuk mendeteksi tanda
awal bahaya dari pasein
|
Berikan istirahat yang
cukup pada pasien
|
Istirahat dapat
menyimpan energi yang diperlukan untuk melawan infeksi
|
Lakukan mobilisasi
secara bertahap, 7 hari setelah bebas demam
|
Agar mobilisasi tubuh
tidak kaku
|
Ajarkan orangtua
teknik merawat pasien secar aseptik
|
Untuk mencegah infeksi
dengan selalu hidup bersih
|
2.3
Konsep Medis Tetanus
1.
Definisi Tetanus
Tetanus atau lockjaw merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang
berbentuk batang Gram-positif yang hidupnya anaerob. Spora Clostridium tetani banyak ditemukan dalam tanah, kotoran, gigi
hewan. Sifat spora yaitu tahan dalam
air mendidih selama 4 jam dan tahan terhadap antiseptic. Akan tetapi, spora ini
akan mati dalam autoklaf pada pemanasan 121˚C selama 20 menit. Di tanah, spora
dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun jika tidak terkena cahaya. Spora ini
dapat menyebabkan infeksi selama lebih dari 40 tahun.
2.
Klasifikasi tetanus
a)
Tetanus neonatus : penyakit yang sering terjadi di seluruh dunia, mengenai bayi
baru lahir di minggu pertama kehidupan akibat ujung umbilikal yang terinfeksi
atau teknik pembedahan yang tidak steril selama sirkumsisi (Arnon, 2007)
b)
Tetanus lokal : bentuk tetanus ini jarang ditandai dengan spasme otot lokal
dalam area luka
c)
Tetanus sefalik : yang berkaitan dengan otitis media atau trauma kepala yang
terjadi baru-baru ini
d)
Tetanus generalista : bentuk yang paling sering dan menyebabkan spasme yang
terjadi dalam cara desenden dimulai di rahang. Otot sering terkena adalah leher
dan punggung.
(Marni,
2016)
3.
Penyebab
Penyakit
ini disebabkan oleh bakteri Clostridium
tetani, yaitu kuman yang berbentuk batang Gram-positif yang hidupnya
anaerob. Spora Clostridium tetani banyak
ditemukan dalam tanah, kotoran, dan gigi hewan. Sifat spora yaitu tahan dalam
air mendidih selam 4 jam dan tahan terhadap antiseptik. Akan tetapi, spora ini
akan mati dalam autoklaf pada pemanasan 121˚C selama 20 menit. Di tanah, spora
dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun jika tidak terkena cahaya. Spora ini
dapat menyebabkan infeksi selama lebih dari 40 tahun.
4.
Manifestasi Klinis
Masa
inkubasi penyakit tetanus umumnya antara 7-21 hari, walaupun ada yang lebih
cepat atau lebih lambat. Penyakit ini biasanya timbul mendadak dengan
ketegangan otot pada rahang dan leher. Dilihat dari klinisnya/klasifikasinya
(tetanus umum, tetanus lokal, dan tetanus sefalik.
5.
Patofisiologi
Bakteri Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke dalam tubuh melewati
luka tusuk, misalnya akibat tertusuk paku, luka terkena pecahan kaca, luka
bakar, lecet, otitis media yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran hewan,
pupuk, dan besi berkarat. Luka yang terkontaminasi tersebut keadaan anaerob
yang ideal untuk berkembang biaknya Clostridium
tetani. Kuman ini tidak invasif. Jika dinding sel kuman lisis, maka akan
melepaskan eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospamin
merupakan toksin kuat dan neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot yang akan mempengaruhi sistem saraf pusat, sedangkan tetanosilin
kurang begitu signifikan. Toksin akan diabsorbsi oleh susunan limfatik dan
masuk ke sisitem saraf pusat melalui peredaran darah. Namun, toksin yang ada
dalam peredaran darah dapat dengan mudah dinetralkan oleh antitoksin. Toksin
juga dapat diabsorbsi oleh ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik
menuju ke korne anterior susunan saraf pusat. Toksin akan bereaksi pada
myoneural junction yang mengakibatkan spasme otot dan mudah sekali terangsang
terjadinya kejang (Marni, 2016)
6.
Pemeriksaan penunjang
Pada
penyakit tetanus, pemeriksaan kurang menunjang untuk menegakkan diagnosis. Pada
pemeriksaan darah rutin, tidak ditemukan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan
mikrobiologi, sampel diambil dari luka yang mengandung pus, atau jaringan
nekrotik yang dibiakkan pada kultur darah atau kaldu daging. Pemeriksaan darah
yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan kalsium dan fosfat. Selain itu, dapat
juga dilakukan pemeriksaan cairan serebospinalis dan elektroensefalogram,
tetapi sering kali hasilnya normal, walaupun didapatkan peningkatan tekanan
akibat kontraksi otot (Marni, 2016).
7. Penatalaksanaan
Anak yang tertususk paku atau duri
sebaiknya segera dibawa ke petugas kesehatan untuk diberikan suntikan
profilaksis 20.000 U secara IM yang terlebih dahulu dilakukan uji kulit dan
mata. Jika anak mengalami kejang, maka berikan antikejang dan penenang,
misalnya fenobarbital jika terjadi kejang hebat dengan dosis 50 mg untuk anak
<1 tahun, dan 75 mg untuk anak >1 tahun. Selanjutnya, diberikan dosis 5
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 6 dosis. Obat penenang lain yang dapat
diberikan pada pasien ini yaitu diazepam atau klorpromazin dengan dosis 4
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 6 dosis.
Antibiotik penisilin prokain (PP)
perlu diberikan untuk mengobati infeksi. Dosis yang dianjurkan yaitu 50.000
U/kgBB/hari dan diberikan secara IM selama 3 hari berturut-turut sampai demam
turun. Obat lain yang berfungsi sebagai antibiotic yaitu metronidazol yang
diberikan secara IV dengan dosis awal 15 mg/kgBB yang dilanjutkan dengan dosis
30 mg/kgBB/hari dengan interval 6 jam selama 7-10 hari (Simanjuntak, 2013).
Anak
yang terkena luka tusuk, luka kotor, dan luka yang tercemar spora tetanus harus
segera menjalani perawatan luka yaitu untuk mencegah timbulnya jaringan
anaerob. Luka perlu dibersihkan dari benda asing dan jaringan nekrotik.
Selain obat, penatalaksanaan yang
penting yaitu dengan nutrisi yang adekuat, anatara lain memeberikan makanan
yang mengandung tinggi kalori tinggi protein (TKTP). Selain itu, juga dapat
dilakukan tindakan dengan menempatkan pasien pada ruangan yang tenang, nyaman,
dalam cahaya yang redup, dan menjauhkan pasien dari kebisingan. Pemberian
oksigen diperlukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh. Jika pasien
tidak mampu makan secar oral, maka NGT dapat dipasang jika perlu. Intubasi,
trakeostomi , dan terapi intravena dapat dilakukan jika terdapat indikasi.
Selain itu, debridemen atau pembersihan luka dengan cara pembedahan juga dapat
dilakukan untuk mengeluarkan racun yang masuk ke dalam tubuh.
8.
Pencegahan
Pencegahan
yang dilakukan untuk mencegha terjadinya penyakit tetanus yaitu dengan
pemberian imunisasi DPT. Anak dianjurkan untuk selalu menggunakan alas kaki
pada saat berjalan/bermain untuk mencegah masuknya kuman pada saat tertusuk
paku atau duri akibat tidak menggunakan alas kaki.
2.4
Konsep Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan Tetanus
1.
Pengkajian
Pengkajian
yang perlu dilakukan pada pasien dengan tetanus yaitu : kaji keluhan anak; kaji
riwayat penyakit saat ini dan faktor yang mencetuskan; kaji riwayat penyakit
dahulu; kaji manifestasi kejang atau aktivitas kejang, bedakan meningitis dan
epilepsi. Lakukan pemeriksaan fisik pada anak, apakah terdapat kaku duduk, opistotonus,
trismus, strabismus, atau kekakuan pada ekstremitas. Lakukan pemeriksaan sistem
persarafan kaji respon keluarga dalam menghadapi anak yang menderita tetanus.
2.
Diagnosis dan Intervensi Keperawatan
Diagnosis 1 : Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
Kriteria hasil : Bersihan jalan napas efektif,
pernapasan normal normal yang ditandai dengan frekuensi, kedalaman, suara
napas, dann irama sesuai usia anak, serta anak tampak tenang.
Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji keluhan keluhan
pasien
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
|
Observasi pernapasan
pasien (frekuensi, kedalaman, apakah terdapat kesulitan bernapas, dan suara napas
tambahan)
|
Untuk mendeteksi tanda
awal bahaya pada pasien
|
Baringkan pasien di
tempat yang rata dengan kepala ekstensi (ganjal bantal dibawah bahu)
|
Kesejajaran tubuh yang
tepat dapat membantu melancarkan pernapasan
|
Isap lender sampai
bersih
|
Pengisapan lender
membantu untuk mengeluarkan sekret dan mempermudah pernapasan karena anak
tidak dapat mengeluarkan sendiri
|
Diagnosis 2 : risiko aspirasi berhubungan dengan
kesukaran menelan dan spasme otot faring
Kriteria hasil : tidak terjadi aspirasi, anak mampu
menelan air liurnya, dan tidak terjadi spasme oto lagi.
Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi kondisi
pasien
|
Untuk mendeteksi tanda
awal bahaya pada pasien
|
Isap lender sesering
mungkin
|
Pengisapan lender
membantu untuk mengeluarkan sekret dan mempermudah pernapasan karena anak
tidak dapat mengeluarkannya sendiri
|
Berikan makanan cairan
melalui sonde
|
Melalui slang NGT
memungkinkan anak dapat menerima nutrisi yang adekuat
|
Berikan penenang jika
perlu
|
Meringankan spasme
pada otot
|
Diagnosis 3 : risiko cedera berhubungan dengan
aktivitas kejang
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera pada anak dan
kejang terkontrol atau tidak kejang.
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi aktifitas
kejang pasien
|
Untuk mendeteksi tanda
awal bahaya pada pasien
|
Baringkan pasien di
tempat yang rata, bahu diganjal oleh bantal
|
Kesejajaran tubuh yang
tepat dapat membantu melancarkan pernapasan
|
Miringkan wajah untuk
menghindari aspirasipasang mayo untuk mencegah lidah jatuh ke belakang
|
Mengeluarkan produk
muntahan sehingga tidak masuk ke paru atau lambung lagi
|
Anjurkan keluarga
untuk menemani pasien
|
Menemani anak
digunakan sebagai dasar penyuluhan
|
Diagnosisi 4 : nyeri berhubungan dengan toksin dalam
sel saraf dan aktivitas kejang.
Kriteria hasil : anak merasa nyaman, kejang berkurang
atau hilang, ekspresi wajah tampak tenang, dan anak tidak rewel.
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji keluhan pasien
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan.
|
Observasi nyeri dan
ketidaknyamanan pasien
|
Memahami keparahan dan
lokasi nyeri anak membantu untuk menentukan upaya kontrol nyeri yang tepat.
Intervensi meliputi medikasi,
pengaturan posisi, pengalihan, imajinasi,
relaksasi, dan teknik pernapasan.
|
Rawat pasien dalam
ruangan yang tenang dan nyaman
|
Kelelahan dapat
mengurangi toleransi terhadap nyeri
|
Pada saat tidur,
jangan dibangunkan untuk memberi obat penenang atau nyeri
|
Memberikan rasa nyaman
terhadap pasien
|
Diagnosis 5 : perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia trismus
Kriteria hasil : nutrisi pasien terpenuhi, berat badan
stabil atau naik, anak mampu makan/menelan, serta tidak terjadi trismus dan
disfagia, trismus
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji kurangnya nutrisi
pada pasien
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
|
Observasi kondisi
pasien, berat badan, dan antropometri
|
Informasi ini
menentukan dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan
|
Berikan makanan cair
jika anak mampu makan sendiri, gunakan sedotan
|
Untuk memenuhi nutrisi
yang adekuat
|
Berikan makanan cair
per sonde setiap 3 jam, jika pasien diberikan obat penenang
|
Memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien walaupun pasien tidur karena diberi obat penenang
|
Diagnosisi 6 : kurang perawatan diri berhubungan
dengan tirah baring dan aktivitas kejang
Kriteria hasil : badan anak bersih, kebutuhan
toileting dan berpakaian terpenuhi , serta kejang berkurang atau hilang.
Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji keluhan pasien
|
Informasi ini
menentukan data dasar kondisi pasien dan memadu intervensi keperawatan
|
Observasi kondisi
pasien
|
Untuk mendeteksi tanda
awal bahaya pada pasien
|
Bantu pasien untuk
membersihkan diri dengan memandikan pasien
|
Memberikan rasa nyaman
pada pasien
|
Bantu pasien toileting
|
Meniminamalkan energi
pasien
|
Anjurkan orangtua
untuk selalu menemani pasien
|
Menemani anak
digunakan sebagai dasar penyuluhan
|
Diagnosis 7 : kurang pengetahuan berhubungan dengan
penatalaksanaan gangguan kejang
Kriteria hasil : pengetahuan orangtua atau pasien
bertambah tentang tetanus, keluarga mengetahui penyebab, penatalaksanaan, tanda
dan gejala, serta komplikasi kejang.
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan penyebab
sakit pada orangtua
|
Memberikan informasi
kepada orangtua tentang penyebab sakit anaknya
|
Jelaskan manfaat PHBS
|
Membuat saling percaya
antara orangtua dan anak dengan tim medis bahwa anak menerima perawatan
terbaik
|
Jelaskan manfaat imunisasi
|
Memberikan informasi
kepada orangtua tentang perawatan
|
Ajarkan orangtua agar
obat diminum sampai habis
|
Dapat membantu program
terapi anak
|
2.5
Konsep Medis Diare
1.
Definisi Diare
Diare
adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja. WHO pada tahun 1984
mendefinisikan diare sebagai berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari
semalam (24 jam). Para ibu mempunyai istilah tersendiri seperti lembek, cair,
berdarah, berlendir atau dengan muntah (muntaber).
Penting untuk menanyakan kepada orangtua mengenai frekuensi dan konsistensi
tinja anak yang dianggap sudah tidak normal lagi.
Diare
dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan (onset), yaitu :
a.
Diare
akut (<2 minggu)
b.
Diare
kronik (>2 minggu)
2.
Etiologi
Penyebab diare dapat dikelompokkan
menjadi :
a.
Virus
: Rotavirus (40-60%), Adenovirus
b.
Bakteri
: Eschericia coli (20-30%), Shigella sp.
(1-2%), Vibrio cholerae, dan
lain-lain
c.
Parasit
: Entamoeba histolytica (<1%),
Giardia lambia, Cryptosporidium (4-11%)
d.
Keracunan
makanan
e.
Malabsorbsi
: karbohidrat, lemak, dan protein
f.
Alergi
makanan, susu sapi
g.
Imunodefisiensi
: AIDS
3.
Penularan
a)
Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi bila
seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik tercemar dari
sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada
saat di simpan di rumah. Pencemaran di rumah terjadi bila tempat penyimpanan
tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat
mengambil air dari tempat penyimpanan
2.
Melalui tinja yang terinfeks. Tinja yang sdudah terinfeksi mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang
dan kemudian binatang tersebut hinggap di makanan, maka makanan itu dapat
menularkan diare ke orang yang memakannya
3.
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko diare adalah :
a)
pada usia 4 bulan bayi sudah tidak diberi ASI ekslusif lagi. (ASI ekslusif
adalah pemberian ASI saja sewaktu bayi berusia 0-4 bulan). Hal ini akan
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian karena diare. Karena ASI banyak
mengandung zat-zat kekebalan terhadap infeksi
b)
Memberikan susu formula dalam botol kepada bayi. Pemakaian botol akan
meningkatkan risiko pencemaran kuman, dan susu akan terkontaminasi oleh kuman
dari botol. Kuman akan cepat berkembang bila susu tidak segera diminum
c)
Menyimpan makanan pada suhu kamar. Kondisi tersebut akan menyebabkan permukaan
makanan mengalami kontak dengan peralatan makan yang merupakan media yang
sangat baik bagi perkembangan mikroba
d)
Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah buang air besar
(BAB) akan memungkinkan kontaminasi langsung
(Widoyono,
2008)
4.
Tanda dan gejala
1.
Gejala umum
a.
Berak cairan atau lembek dan sering adalah gejala khas diare
b.
Muntah
c.
Demam
d.
Gejala dehidrasi (mata cekung, turgor kulit melambat, lemah)
2.
Gejala spesifik
a.
Vibrio cholera : diare hebat, warna
tinja seperti cucian beras, bau amis
b.
Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah
(Wiyono,
2008)
5.
Penatalaksanaan
a.
Memberikan anak lebih banyak cairan
b.
Memberi gizi yang cukup
c.
Membawa ke layanan kesehatan terdekat
d.
Berikan cairan oralit
e.
Pemberian antibiotik jika perlu
2.6
Konsep Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak dengan Diare
1.
Pengkajian
Identitas pasien
Keluhan utama
Buang air besar lebih dari tiga kali
sehari. BAB 4-10 kali dengan konsistensi cair (dehidrasi
ringan/sedang). BAB >10 kali
(dehidrasi berat). Bila diare berlangsung <14 hari adalah diare
akut. Bila berlangsung >14 hari
adalah diare persisten.
Riwayat
penyakit sekarang
menurut Suharyono (1999;59) sebagai berikut :
a.
Bayi/anak
menagis, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang, dan diare.
b.
Tinja
cair, disertai lender dan darah. Warna tinja berubah menjadi hijau (bercampur
empedu)
c.
Anus
dan daerah sekitarnya lecet karena sering defekasi.
d.
Gejala
muntah dapat terjadi sebelum dan sesudah diare.
e.
Bila
pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai
tampak.
f.
Dieresis,
yaitu terjadi oliguri (< 1ml/kg/BB/jam) bila terjadi dehidrasi. Urine
sedikit gelap pada dehidrasi ringan atau sedang, tidak ada urin dalam waktu 6
jam (dehidrasi berat).
Riwayat kesehatan meliputi :
a.
Riwayat
imunisasi terutama anak yang belum imunisasi campak
b.
Riwayat
alergi terhadap makanan atau obat (Axton,1993;83)
c.
Riwayat
penyakit yang sering terjadi pada anak dibawah tahun (batuk, panas, pilek, dan
kejang sebelum atau sesdudah diare) Suharyono, 1999;59)
Riwayat nutrisi
a.
Pemberian
ASI penuh pada anak umur 4-6 bulan sangat mengurangi risiko diare dan infeksi
yang serius
b.
Pemberian
susu formula, apakah menggunakan air masak, diberikan dengan botol atau dot
c.
Perasaan
haus.
Pemeriksaan
fisik :
a)
Keadaan
umum
1.
Baik,
sadar (tanpa dehidrasi)
2.
Gelisah,
rewel (dehidrasi ringan atau sedang)
3.
Lesu,
atau tidak sadar (dehidrasi berat)
b)
Berat
badan : anak yang mengalami diare biasanya mengalami penurunan berat badan
c)
Kulit
: pemeriksaan turgor/elastisitas kulit jika kembali < 2 detik (diare tanpa
dehidrasi) jika >2 detik (dehidrasi berat)
d)
Kepala
: anak <2 tahun yang mengalami dehiradi ubun-ubunnya biasanya cekung
e)
Mata
: anak yang diare tanpa dehidrasi, bentuk kelopak mata normal. Bila dehidrasi
ringan/sedang, kelopak mata cekung (cowong). Jika dehidrasi berat kelopak mata
akan sangat cekung
f)
Mulut
dan lidah
1.
Mulut
dan lidah basah (tanpa dehidrasi)
2.
Mulut
dan lidah kering (dehidrasi ringan/sedang)
3.
Mulut
dan lidah sangat kering (dehidrasi berat)
g)
Abdomen
kemungkinan distensi, kram, bisis usus meningkat
h)
Anus
: adakah iritasi
i)
Pemeriksaan
penunjang : pemeriksaan laboratorium
a.
Pemeriksaan
tinja
b.
Tes
malabsorbsi
2)
Diagnosa Keperawatan
a)
Kekurangan
volume cairan
b)
Perubahan
pola pemenuhan nutrisi
c)
Perubahan
integritas kulit
3) Intervensi
1.
Kekurangan volume cairan
a.
Pantau tanda-tanda dan gejala dehidrasi
b.
Pantau masukan dan keluaran dengan cermat meliputi frekuensi, warna, dan
konsistensi
c.
Pantau ketidakseimbangan elektrolit
d.
Timbang berat badan setiap hari
e.
Monitor tanda-tanda vital
2.
Perubahan nutrisi
a.
Jaga intake dan output yang tepat dengan meneruskan nutrisi per oral
b.
Observasi muntah dan berak tiap 4 jam
c.
Berikan makanan secara bertahap menaikkan dari diet lunak ke diet biasa
d.
Timbang berat badan setiap hari
e.
Kolaborasi dengan ahli gizi
3.
Perubahan integritas kulit
a.
Jaga daerah popok bersih dan kering
b.
Periksa dan anti popok tiap jam atau basah
c.
Bersihkan daerah perineal dengan air dan sabun perineal dengan air dan
sabun yang lembut setiap BAB
BAB
3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Penyakit tropis merupakan penyakit
yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Penyakit ini merupakan
penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis maupun subtropis.Penyebaran
penyakit tropis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, perubahan
iklim, dan cuaca, untuk itu penanganan penyakit tropis dapat dilakukan dengan
cara selalu menjaga sanitasi lingkungan karena lingkungan merupakan elemen
penting agar kita bisa terhindar dari penyakit tropis serta selalu menjaga kesehatan
dengan cara memakan makanan yang bergizi agar saat terjadi perubahan cuaca
tubuh kita tidak akan lemah.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh
dari kata sempurna untuk itu kami
mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki isi makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
John J, Van
Aart CJC, Grassly NC (2016) The Burden of
Typhoid and
Paratyphoid in India: Systematic Review and Meta-analysis.
PLoS NeglTrop Dis
10(4):
e0004616. doi:10.1371/journal.pntd.0004616
Marni,
Asuhan Keperawatan Anak pada Penyakit
Tropis, Penerbit Erlangga, 2016
Rekawati
dkk, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak ed
2, Penerbit Erlangga, 2008
Widoyono, Penyakit Tropis, Penerbit Erlangga, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar